- A. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan permasalahan bangsa yang mendesak dan memerlukan langkah-langkah penanganan dan pendekatan yang sistematik, terpadu dan menyeluruh, dalam rangka mengurangi beban dan memenuhi hak-hak dasar warga negara secara layak untuk menempuh dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Kalau melihat kebelakang Jumlah dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2009 sangatlah berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun Berdasarkan laporan dari Biro Pusat Statistik No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta orang (15,42 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2009 yang berjumlah 32,53 juta (14,15 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta. Jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun lebih tajam dari pada daerah perkotaan.
Selama periode Maret 2008-Maret 2009, penduduk miskin di daerah perdesaan berkurang 1,57 juta orang, sementara di daerah perkotaan berkurang 0,86 juta orang . Persentase penduduk miskin antara daerah perkotaan dan perdesaan tidak banyak berubah. Pada periode Maret 2008 – Maret 2009, perubahan persentase penduduk miskin di perkotaan sebesar 0,93 persen, dan di perdesaan mencapai 0,58 persen.
Bagaimana dengan kondisi di Kalimantan Selatan ternyata pada tahun 2009 jumlah penduduk miskin di daerah ini juga mengalami penuruhan berdasarkan sumber berita resmi statistik Provinsi Kalimantan Selatan Jumlah penduduk miskin di Kalimantan Selatan berkurang 42,92 ribu jiwa. Penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Kalimantan Selatan keadaan Maret 2009 tercatat sebanyak 175,98 ribu jiwa (5,12 persen). Sedangkan pada periode yang sama setahun yang lalu, penduduk miskin di Kalimantan Selatan tercatat sebanyak 218,9 ribu jiwa (6,48 persen).
Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah pencapaian tersebut sudah menunjukkan bahwa masalah kemiskinan sudah tertangani dengan tepat ? dan apakah penanganan masalah kemiskinan sudah pada jalur yang benar ?. Pada kenyataannya masalah kemiskinan merupakan masalah yang komplek, dan melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat, masalah ini bukan hanya menjadi masalah masyarakat tetapi juga pemerintah. Dalam program pengentasan kemiskinan ini pemerintah berupaya mengurangi melalui berbagai upaya pelaksanaan pembangunan baik dalam skala nasional, regional maupun wilayah.
Permasalahan kemiskinan bukan hanya merupakan masalah ekonomi semata, akan tetapi juga merupakan masalah sosial dan kemanusiaan. Oleh karena itu, implikasi permasalahan kemiskinan dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia secara keseluruhan, yang pada akhirnya akan menentukan kelangsungan pembangunan kualitas manusia itu sendiri yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Dalam kaitan proses perkembangan dinamika kehidupan masyarakat, maka masalah kemiskinan dipandang sebagai masalah yang sangat dinamis, sehingga membutuhkan peran institusi, program serta metode pendekatan yang mampu menjawab permasalahan kemiskinan, yang bertumpu pada beberapa nilai dasar filosofi yaitu rasa, karsa dan cipta sebagai kata kunci dalam pelaksanaan pemberdayaan sosial (Redmod & Johnson, 1992; Sumodiningrat, 2008).
Program pengentasan kemiskinan hendaknya tidak terlepas dari nilai-nilai dasar filosofinya, antara lain rasa yang berarti menyadari bahwa setiap individu memiliki harkat dan martabat diri, karsa memiliki arti kemauan untuk berusaha berubah dan mengentaskan diri dari kemiskinan, dan cipta adalah kemauan dan kemampuan untuk berkreasi menciptakan sesuatu untuk meningkatkan taraf hidup dan berkembang lebih maju (Johnson, 1992; Sumodiningrat, 2008). Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang perlu mendapatkan perhatian secara terus menerus karena membiarkan kemiskinan sama saja dengan menggadaikan nilai-nilai martabat bangsa, dimana masyarakat yang miskin akan menjadi titik lemah dalam pelaksanaan pembangunan.
- B. Perumusan Masalah dan Tujuan Makalah
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam rentang waktu sepuluh tahun terakhir ini melakukan berbagai kegiatan dalam penanggulanan masalah kemiskinan, upaya-upaya tersebut dengan dibuatnya gerakan-gerakan pengentasan kemiskinan Gerbangmas Taskin, dan kerjasama penelitian yang disponsori oleh Balitbangda dan bekerjasama dengan Lembaga-lembaga penelitian. Hasil program dan kerjasama itu apakah sudah dimanfaatkan secara maksimal atau belum dan adakah hubungan antara rekomendasi hasil penelitian dengan program-program yang dilakukan serta bagaimana hubungan dengan pengurangan masyarakat miskin di Kalimantan Selatan?
Atas dasar pemikiran tersebut diatas maka Dewan Riset Daerah sebagai sounding board mencoba untuk melihat beberapa isu-isu strategis Penanganan Kemiskinan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Kemiskinan dipahami dalam berbagai cara, yaitu: pertama gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar. Kedua, gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi dan ketiga, gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia (Wikipedia, Indonesia). Secara ringkas kemiskinan ditandai adanya kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi bagi sebagian masyarakat.
Kemiskinan dalam pengertian konvensional pada umumnya (income) komunitas yang berada dibawah satu garis kemiskinan tertentu. Oleh karena itu sering sekali upaya pengentasan kemiskinan hanya bertumpu pada upaya peningkatan pendapatan komunitas tersebut. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa pendekatan permasalahan kemiskinan dari segi pendapatan saja tidak mampu memecahkan permasalahan komunitas. Karena permasalahan kemiskinan komunitas bukan hanya masalah ekonomi namun meliputi berbagai masalah lainnya.
Kemiskinan dalam berbagai bidang ini disebut dengan kemiskinan plural. Menurut Max-Neef et. al, sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang ditanggung komunitas, yaitu : (1) Kemiskinan sub-sistensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal. (2) Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah. (3) Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran atas hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan. (4) Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas. (5) Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antar kelompok sosial, terfragmentasi. (6) Kemiskinan kebebasan, stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik di tingkat pribadi maupun komunitas (Adam Y. Zikrullah).
Sedangkan menurut BPS (2003), miskin adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang/rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal yang layak bagi kehidupan mereka. Sedangkan Batas Garis Kemiskinan yaitu Batas minimal pengeluaran “konsumsi” untuk memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan yang bersifat mendasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan). Garis kemiskinan makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan energi minimal 2100 kalori per hari. Kemudian garis kemiskinan non pangan yaitu nilai rata-rata pengeluaran dalam rupiah dari jenis komoditi dasar non pangan di perkotaan maupun di pedesaan.
Dedel Maraiana (2008) mengemukakan kemiskinan dapat dilihat dari berbagai perspektif, antara lain ekonomi, sosial, dan budaya. Menurut perspektif ekonomi, kemiskinan adalah suatu kondisi di mana pendapatan suatu penduduk atau rumah tangga tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan dasar, pendapatannya terlalu rendah sehingga tidak mampu berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Perspektif ini sejalan dengan definisi kemiskinan absolut yang merupakan isu paling krusial di dunia. Sementara dari sudut pandang sosial, kemiskinan terjadi karena struktur sosial yang tidak berpihak pada orang miskin. Dengan demikian mereka tersisih akibat terisolasi terhadap akses ekonomi, sosial, dan politik (struktural). Sedangkan dari sisi budaya, kemiskinan lebih ditentukan oleh pola perilaku masyarakat miskin, seperti pola hidup subsisten, konsumtif, dan etos kerja rendah (kultural).
Kemiskinan memiliki konsep yang beragam. Dalam menentukan ukuran kemiskinan. BPS melihat pada besaran pengeluaran bagi memenuhi kebutuhan pokok pangan dan non pangan rumah tangga per orang per bulan. Kemiskinan diukur dari tingkat konsumsi per kapita dibawah suatu standar tertentu yang disebut garis kemiskinan (poverty line). Nilai garis kemiskinan yang digunakan untuk menentukan kemiskinan mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kalor per orang per hari di tambah dengan kebutuhan minimum non pangan. Menurut BPS. individu pengeluaran lebih rendah tersebut dikategorikan miskin.
Sedangkan kemiskinan menurut strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK). kemiskinan didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang laki-laki dan perempuan yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar manusia tersebut meliputi : terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik.
Masyarakat miskin masih mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan, hal ini ditandai dengan rendahnya daya beli, ketersediaan pangan yang tidak merata, ketergantungan tinggi terhadap beras dan terbatasnya diversifikasi pangan.
Pada bidang kesehatan, masyarakat miskin menghadapi masalah keterbatasan akses layanan kesehatan dan rendahnya status kesehatan yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari nafkah, terbatasnya kemampuan anak untuk tumbuh dan berkembang, dan rendahnya derajat kesehatan ibu. Penyebab utama dari rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin selain kurangnya kecukupan pangan adalah keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, rendahnya pendapatan dan mahalnya biaya jasa kesehatan, serta kurangnya layanan kesehatan reproduksi
Pada bidang pendidikan, masyarakat miskin mempunyai akses yang rendah terhadap pendidikan formal dan non formal. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana pendidikan, terbatasnya jumlah dan guru bermutu di daerah dan komunitas miskin, terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar, terbatasnya jumlah SLTP di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kantong-kantong kemiskinan, serta terbatasnya jumlah, sebaran dan mutu program kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan non formal
Masyarakat miskin juga menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha. Keterbatasan modal, kurangnya keterampilan, dan pengetahuan, menyebabkan masyarakat miskin hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang sempit untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya.
Masalah kemiskinan juga terkait dengan ketertinggalan dan keterisolasian wilayah. Masih ada sekitar 199 kabupaten termasuk kategori tertinggal yang sebagiah besar, yaitu 60 persen berada di Kawasan Timur Indonesia. Tentu saja wilayah-wilayah seperti itu akan sulit untuk mengakses berbagai pelayanan publik, sehingga semakin jauh untuk mewujudkan kesejahteraannya. Dari tiga daerah yang menjadi sasaran penanganan isu-isu penanganan kemisikinan ini duanya adalah masih dalam kategori tertinggal, yakin Barito Kuala dan Hulu Sungai Utara.
Selain itu, masih ditemukan permasalahan dalam implementasi penanggulangan kemiskinan yang menyangkut : Masih lemahnya koordinasi terutama dalam hal: pendataan, pendanaan, dan kelembagaan;
- Lemahnya koordinasi antar program-program penanggulangan kemiskinan antara instansi pemerintah pusat dan daerah;
- Lemahnya integrasi program pada tahap perencanaan, sinkronisasi program pada tahap pelaksanaan, dan sinergi antar pelaku (pemerintah, dunia usaha, masyarakat madani);
Belum optimalnya kelembagaan di pemerintah, dunia usaha, LSM, dan masyarakat madani dalam bermitra dan bekerjasama dalam penanggulangan kemiskinan serta penciptaan lapangan kerja
Dengan dimensinya yang luas dan kompleks, kemiskinan perlu ditangani secara komprehensif dan sistemik. Faktor-faktor penyebab kemiskinan dipengaruhi oleh begitu banyak variabel, baik yang bersifat internal maupun global, dan bersifat dinamis dari waktu ke waktu sehingga membutuhkan upaya penanggulangan kemiskinan yang harus terus diperbaharui. Pemecahan masalah kemiskinan juga tidak lagi dapat dilakukan oleh pemerintah sendiri melalui kebijakan yang terpusat dan berjangka pendek, melainkan memerlukan pendekatan yang terpadu, terencana, berkesinambungan, dan menuntut keterlibatan berbagai pihak.
Kesimpulan
- Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah mempunyai program yang jelas bagi upaya pengentasan kemiskinan di Kalimantan Selatan
- Hasil beberapa kajian pengentasan kemiskinan belum secara sinergi dimanfaatkan oleh Kabupaten untuk pengurangan jumlah penduduk miskin
- Perlu adanya koordinasi yang lebih baik diantara SKPD di Kabupaten dan Pemerintah Provinsi dalam menangani masalah kemiskinan
- Perlu adanya upaya pemanfaatan Teknologi informasi dan komunikasi bagi penanganan masalah kemiskinan
- Alokasi dana harus lebih jelas terkait dengan upaya yang sistematis dan berkesinambungan terhadap penanganan masalah kemiskinan
Tinggalkan komentar